Muncul perasaan gembira dan ungkapan puji syukur yang tidak terkira tatkala seseorang berada dalam posisi menang dan atau sedih ketika kalah, itu adalah hal yang sangat manusiawi, apalagi tak semua orang di dunia sempat menjadi orang nomor satu atau pemenang dalam suatu perlombaan dan atau permainan. Apalagi, kemudian ternyata pihak yang menang tersebut belum tentulah bermakna menang, demikian juga bagi mereka yang kalah, belum tentu jugalah berarti kalah.

Bahkan suatu kemenangan bahkan bisa bermakna suatu kekalahan, bila kemenangan itu kemudian dijadikan sebagai jalur menuju kemungkaran yang lebih luas, seperti ketidakadilan dan atau kesewenangan. Apalagi dalam banyak kenyataan, tak sedikit dari mereka hamba Allah yang mengalami nasib seperti itu, karena terlalu terluap dalam kegembiraan dan atau terjebak dalam suatu permainan yang memang dibuat Indah oleh Sang Pencipta sebagai godaan bagi mereka yang belum pernah bertarung pada medan yang sesungguhnya. 

Ada yang berubah bagaikan serigala pemangsa yang kemudian menginjak injak hak orang banyak ketika berada di tampuk kekuasaan yang menggiurkan. demikian juga, yang kalah, bukan berarti kalah, tetapi bisa bermakna menang. Bisa jadi kekalahan yang dialami pada waktu itu ikut membantu menutup peluang pihak yang kalah dalam melakukan perbuatan-perbuatan yang berlumuran dosa nantinya bila sempat meraih kemenangan.

Namun demikian, memanfaatkan kemenangan itu sebagai kesempatan untuk meraih kemenangan lebih lanjut adalah tindakan yang perlu dan bijak, jika sebelumnya di iringi dengan niat dan setelahnya diaplikasikan dalam perbuatan yang sesuai dengan apa yang sebelumnya diniatkan.

Banyak sekali pertarungan yang harus dimenangkan pada masa selanjutnya pada saat kita telah memenangkan suatu pertandingan, seperti bertarung dengan berbagai godaan untuk melakukan penyelewengan. Untuk itu, cara yang digunakan Khalifah Abu Bakar r.a. sangat bermanfaat untuk dijadikan sebagai salah satu alat untuk menyelamatkan diri dari kekalahan dunia dan akhirat. Yaitu, melibatkan rakyat sebagai pengingat, setelah memohon pertolongan Allah Subhanahu Wata'ala. Namun demikian, hal ini menuntut suatu kehati-hatian karena tidak semua orang menjadi pengingat, tetapi bahkan menjadi pendorong yang menjerumuskan.

“Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin, bukan karena aku yang terbaik di antara kalian, Oleh karena itu jika aku berbuat baik, bantulah aku; 
dan jika aku berbuat salah, luruskanlah aku” 
(Khalifah Abu Bakar r.a.)


Hormati hak asasi manusia , Karena itu fitrah manusia ,  Kita semua bebas memilih , Jalan hidup yang disukai
Tuhan pun tidak memaksakan , Apa yang hamba-Nya lakukan

Terapkan demokrasi Pancasila , Sebagai landasan negara kita , Janganlah suka memperkosa , Kebebasan warga negara , Karena itu bertentangan , Dengan perikemanusiaan dan tentunya hukum Al Quran

Kebebasan beragama (itu hak asasi)
Kebebasan berbicara (itu hak asasi)

Kita bebas untuk melalukan segala-galanya , Asal saja tidak bertentangan dengan Pancasila

Kebebasan berusaha (itu hak asasi)
Kebebasan tuk berkarya (itu hak asasi)

Kita bebas untuk melalukan segala-galanya,  Asal saja tidak bertentangan dengan Al Qur'an Dan Sunnah rasul Nya.

Suatu hari, Rasulullah sallallahu alaihi wasallam berkumpul dengan para sahabat. Rasulullah berkata, “Umatku akan tertimpa penyakit umat-umat terdahulu.”

Para sahabat bertanya, “Apakah penyakit itu, ya, Rasulullah?”

Nabi menjawab “Berbuat jahat, menentang kebenaran, berlomba-lomba dan bersaing dalam kekayaan, saling menjauhi dan bersikap dengki , sehingga muncul pembangkangan dan kekacauan” (HR. Thabrani).

Tak sedikit waktu yang diberikan untuk hidup, sehingga hendaknya tak melewatkan kesempatan untuk mencermati penyakit-penyakit umat terdahulu yang mungkin bersarang dalam diri kita sendiri. Meskipun tak menyadari dan menyukainya, tak tertutup kemungkinan di antara kita telah menjadi pewaris-pewarisnya atau bahkan penyebar-penyebarnya.

Sungguh bila dicermati, penyakit-penyakit yang disebutkan Rasulullah itu, seperti kejahatan, kedengkian, berlomba-lomba dalam kekayaan, dan berlain-lain, kini semakin akut dan parah. Sehingga membuat hubungan dengan saudara-saudara seiman pun menjadi renggang dan bahkan tercerai-berai. Hal ini terus berlangsung bahkan di bulan kelahiran Nabi.

Namun anehnya, banyak yang malu mengakuinya. Untuk menutupi kejahatannya, sebahagian orang menyewa pembela berlapis-lapis. Ini suatu pertanda bahwa jangankan orang lain, diri sendiri pun sebenarnya tidak senang atau tidak mau menerima perbuatan jahat diri sendiri. Ini bermakna bahwa perbuatan-perbuatan itu sifatnya hina dan memalukan. 

Dan melakukannya terus-menerus adalah bentuk penghinaan terhadap diri sendiri secara berkelanjutan. Yang jelas sudah diberitahukan, surga tidak akan menerima orang-orang yang gemar berbuat kejahatan, kecuali bagi yang telah bertaubat.