Menambah amal baik

Demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati dengan al-Haqq dan dengan ash-Shabr. (QS. 103:1-3) 

Kehidupan di dunia ini merupakan tempat untuk menambah dan memperbanyak amalan-amalan yang baik agar manusia bahagia setelah kematiannya dapat kembali kepada-Nya dengan hati puas dengan apa yang ia kerjakan ketika didunia.  Beribadah di dalam agama yang mulia ini selalu mempunyai dua dimensi, dimensi hablu minallah (hubungan kepada Allah) dan dimensihablu minannas (antar sesama manusia/makhluk). Namun demikian tujuan utama dari ke semuanya itu adalah untuk membentuk menjadi sebaik-baik manusia.

Amal baik dan amal shalih berbeda, amal yang baik belum tentu shalih. Karena baik itu berdasarkan penilaian manusia, sedangkan shalih itu berdasarkan pandangan Allah. Apabila manusia itu hanya dapat melakukan penilaian terhadap hal yang tampak (dzahir), sedangkan Allah tidak. Dia mampu menembus sampai guratan hati yang paling halus. Sebuah amal yang tampaknya demikian indah dan besar dalam penilaian manusia, namun belum tentu demikian dalam pandangan Allah. 

Keshalihan sebuah amal, melingkupi semua fase proses. Sejak proses niat, proses merencanakan dan memikirkannya, sampai proses meng-aktualkannya. Ketika salah satu fase rusak, maka dapat merusak keseluruhan proses. Orang-orang dzahiri, yaitu orang-orang yang hanya melakukan penilaian terhadap hal yang tampak saja, tidak akan perduli terhadap proses niat dan perencanaan. Dia hanya berpikir bagaimana amalnya dikemas bagus dalam pandangan manusia. Hal ini menyebabkan amalnya bukan lagi untuk Allah tetapi untuk manusia. Penyakit-penyakit riya (pamer), ujub (bangga diri), sum'ah (ingin dipuji), akan tumbuh subur dan berbunga. Karena itulah salah satu ciri-ciri orang yang bertaubat adalah ia akan memperhatikan yang tidak nampak (niat dan merencanakan) sebagaimana ia memperhatikan yang dzahir. 

Karena mereka berpikir untuk shalih, bukan sekedar baik. Amal-amal shalih inilah yang akan menyebabkan segala kesalahan-kesalahannya dihapus oleh Allah dan digantikan dengan kebaikan, sebagaimana dijelaskan dalam Firman-Nya :

Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, benar-benar akan Kami hapuskan dari mereka dosa-dosa mereka dan benar-benar akan Kami beri mereka balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. (QS. 29:7) 

Amal-amal shalih inilah yang akan menyebabkan Allah, memberi petunjuk langsung kepada hatinya, dan menuntunnya menjadi salah satu dari golongan orang yang berada di Shiraath al Mustaqiim, yaitu Ash-Shalihiin. 

Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS.4:69)

Saat yang tepat untuk berbuat adalah ketika kita tahu apa yang harus kita lakukan adalah benar atas dasar keimanan. Keimanan memang membutuhkan amal. Tapi, hanya amal shaleh yang akan diterima. Betapa banyak orang yang berbuat kebenaran, tapi kebenarannya tersebut hanya berdasar hawa nafsunya dan persepsinya tanpa hukum syara. Betapa sia-sianya perbuatan tersebut. Jika demikian, bukanlah saat yang tepat untuk berbuat. Sebab, setiap perbuatan akan dimintai pertanggungan jawabnya di akhirat kelak. Maka, berbuat benar saja menurut ukuran manusia belum cukup jika tak dilandasi keimanan kepada Allah Subhanahu Wata'ala

Wallahu A'lam

Sebelumnya saya memiliki pengharapan yang palsu dan bahkan tidak memiliki pengharapan dalam kehidupan ini. Tetapi sesuatu telah membuat saya bangkit da hal ini yang membuat saya menghadap hadirat-Mu, memohonkan biarlah Engkau memberikan pengharapan yang sejati di dalam kehidupanku. Ampuni segala dosa-dosa saya dan biarlah Engkau saja yang mengendalikan seluruh kehidupanku dan memberikan pengharapan yang sejati dalam kehidupanku. "

Di antara manusia ada yang mengorbankan dirinya untuk meraih ridha Allah Subhanahu Wata'ala. Dan adalah Allah Maha Penyantun terhadap hamba-hamba-Nya”. (Al-Baqarah: 207) 

Berdasarkan sebab nuzul yang dikemukakan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim, ayat ini memberi gambaran konkrit tentang seseorang yang rela mengorbankan segala yang dimilikinya semata-mata untuk meraih ridha Allah dalam seluruh totalitas kehidupannya. Karena ia yakin, ridha Allah merupakan target puncak dari sebuah proses panjang keimanan yang merupakan implementasi nyata dari kesempurnaan takwa ‘كمال التقوى ‘,  Maka Allah menghendaki sikap mengagumkan yang harus ditunjukkan oleh orang yang benar-benar beriman yang membedakannya dengan orang munafik, yaitu kesiapannya untuk memenuhi perintah Allah meskipun harus dengan mengorbankan segalanya demi meraih gelar tertinggi di mata Allah. Karena dengan meraih ridha Allah, segala kebaikan, kemuliaan dan keberkahan hidup akan senantiasa menyertainya dan Allah akan senantiasa hadir untuk memberikan pertolongan kepadanya.


Pelajaran tentang dua tipe manusia sepanjang zaman; seorang munafik yang menjadikan seluruh hidupnya demi kepentingan dunia dan seorang mukmin yang benar yang menggadaikan totalitas hidupnya untuk Allah, tanpa tersisa sedikitpun untuk selain-Nya. Maka secara spesifik di ayat selanjutnya Allah mengarahkan orang-orang yang beriman agar menjadikan totalitas hidupnya dalam kerangka berIslam secara utuh tanpa ada keraguan sedikit pun. Allah swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ 

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara kaafah dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi kalian”. (Al-Baqarah: 208)

Berislam secara kaaffah seperti yang diperintahkan oleh Allah dalam ayat ini berarti meninggalkan segala bentuk langkah syaitan secara totalitas juga. Terbawa dan hanyut dalam salah satu dari jerat syaitan akan mengurangi totalitas keislaman kita. Karenanya, langkah-langkah syaitan dimaknai oleh para ulama dalam arti setiap perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu Wata'ala. Di sini, berislam secara kaaffah sebagai wujud dari motifasi untuk meraih ridha Allah akan senantiasa berdepan dengan beragam langkah syaitan yang secara sistemik dan berkesinambungan berusaha mereduksi keyakinan untuk berislam secara totalitas dalam beragam bentuk dan tampilannya. Inilah yang harus diantisipasi dan diwaspadai oleh segenap orang yang beriman tanpa harus lengah sedikit pun.

Ridha berasal dari kata radhiya-yardha yang berarti menerima suatu perkara dengan lapang dada tanpa merasa kecewa ataupun tertekan. Sedangkan menurut istilah, ridha berkaitan dengan perkara keimanan yang terbagi menjadi dua macam. Yaitu, ridha Allah kepada hamba-Nya dan ridha hamba kepada Allah sebagaimana diisyaratkan Allah dalam firman-Nya, ''Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.'' (QS 98: 8). Ridha Allah kepada hamba-Nya adalah berupa tambahan kenikmatan, pahala, dan ditinggikan derajat kemuliaannya. Sedangkan ridha seorang hamba kepada Allah mempunyai arti menerima dengan sepenuh hati aturan dan ketetapan Allah. Menerima aturan Allah ialah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.

Antara Ridha Dan Pasrah

Dari definisi ridha tersebut terkandung isyarat bahwa ridha bukan berarti menerima begitu saja segala hal yang menimpa kita tanpa ada usaha sedikit pun untuk mengubahnya. Ridha tidak sama dengan pasrah. Ketika sesuatu yang tidak diinginkan datang menimpa, kita dituntut untuk ridha. Dalam artian kita meyakini bahwa apa yang telah menimpa kita itu adalah takdir yang telah Allah tetapkan, namun kita tetap dituntut untuk berusaha. Allah berfirman, ''Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.'' (QS 13: 11).

Hal ini berarti ridha menuntut adanya usaha aktif. Berbeda dengan sikap pasrah yang menerima kenyataan begitu saja tanpa ada usaha untuk mengubahnya. Walaupun di dalam ridha terdapat makna yang hampir sama dengan pasrah yaitu menerima dengan lapang dada suatu perkara, namun di sana dituntut adanya usaha untuk mencapai suatu target yang diinginkan atau mengubah kondisi yang ada sekiranya itu perkara yang pahit. Karena ridha terhadap aturan Allah seperti perintah mengeluarkan zakat, misalnya, bukan berarti hanya mengakui itu adalah aturan Allah melainkan disertai dengan usaha untuk menunaikannya.

Salah persepsi maupun aplikasi terhadap makna ayat- ayat yang memerintahkan untuk bersikap ridha terhadap segala yang Allah tetapkan. Dengan kata lain pasrah akan melahirkan sikap dan tindakan yang pesimis. Sedangkan ridha justru mengajak orang untuk optimistis.

Wallahu a'lam.

Keikhalasan ada ketika Anda mengutamakan keridhaan Allah daripada keridhaan manusia  Tidak sedikit manusia hidup di bawah bayang-bayang orang lain. Bila orang itu menuntun pada keridhaan Allah, sungguh kita sangat beruntung. Tapi tak jarang orang itu memakai kekuasaannya untuk memaksa kita bermaksiat kepada Allah Subhanahu Wata'ala. Di sinilah keikhlasan kita diuji antara memilih keridhaan Allah atau keridhaan manusia yang mendominasi diri kita. Ikhlas ada saat Anda cinta dan marah karena Allah, Adalah ikhlas saat anda menyatakan cinta dan benci, memberi atau menolak, ridha dan marah kepada seseorang atau sesuatu karena kecintaan anda kepada allah dan keinginan membela agama-Nya, bukan untuk kepentingan pribadi.
Keikhlasan hadir saat Anda sabar terhadap panjangnya jalan Keikhlasan Anda akan diuji oleh waktu. Sepanjang hidup Anda adalah ujian. Ketegaran Anda untuk menegakkan kalimat-Nya di muka bumi meski tahu jalannya sangat jauh, sementara hasilnya belum pasti dan kesulitan sudah di depan mata, dan amat sangat penuh dengan godaan dan ujian. Hanya orang-orang yang mengharap keridhaan Allah yang bisa tegar menempuh jalan panjang itu. 

Dunia adalah ujian bagi seluruh penghuninya, terutama manusia yang memang telah diciptakan dengan nafsu, akal, dan hati. Manusia yang memang telah ditakdirkan oleh Allah Subhanahu Wata'ala untuk menjadi khalifah di muka bumi, tentu tidak akan ada yang dapat terlewat dari jerat ujian dan cobaan hidup yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wata'ala. Artinya, sebuah perbuatan baru dikatakan sebagai perbuatan yang ikhlas manakala tidak mengharapkan imbalan sekecil apapun, kecuali hanya mengharapkan balasan dan ridho Allah Subhanahu Wata'ala. Hal ini telah disampaikan oleh Allah swt di dalam Al Quran yang artinya: “Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian pula Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah”, (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (QS. At Taubah : 59) 

Ikhlas, yaitu bersih dari segala bentuk pamrih dan harapan kepada selain Allah swt, sebesar apapun pamrih dan harapan tersebut. Satu-satunya harapan yang boleh dan wajib ada di dalam sebuah keikhlasan hanyalah keridhoan Allah Subhanahu Wata'ala semata. 

Pelajaran bahwa betapa pentingnya nilai sebuah keikhlasan, yakni berbuat kebajikan tanpa pamrih kecuali hanya mencari ridho Allah Subhanahu Wata'ala semata.. Ikhlas ini merupakan ruh ibadah kepada Allah Subhanahu Wata'ala. Karena itu untuk mewujudkan ibadah yang berkualitas kepada Allah Subhanahu Wata'ala.  kita harus pandai-pandai menata niat. Niat inilah yang akan membawa konsekuensi pada diterima atau tidaknya suatu ibadah yang kita lakukan. 

Rasulullah SAW bersabda: ”Sesungguhnya perbuatan itu tergantung pada niatnya, seseorang itu akan memperoleh apa yang telah diniatkannya. Barang siapa hijrahnya itu karena Allah dan rasulnya, maka ia akan memperoleh pahala dan barang siapa hijrahnya itu karena harta atau wanita, maka ia akan memperoleh apa yang telah diniatkannya itu.” Memang niat mudah diucapkan namun sukar untuk dipraktikkan. Saat kita punya niat baik, maka saat itu juga iblis telah bersiap siaga untuk menjerumuskan dan merusaknya. Padahal awalnya niat itu murni karena Allah. Itulah sebabnya, Ibnu Qoyim mengatakan bahwa ikhlas itu membutuhkan keikhlasan (al-ikhlashu yahtaju ilal ikhlash). Niat itu bersarang dalam hati. Agar ia tetap terjaga utuh, seseorang harus menata niatnya sebelum melakukan amal, ketika melakukannya, dan sesudah selesai. Dan hal itu bisa dimiliki dengan melalui berbagai latihan (riyadhah) mental yang intensif, yakni berusaha menata niat, karena ia tidak akan serta merta bersih dengan sendirinya. Yang perlu diwaspadai, iblis menggoda manusia sesuai dengan kualitas ketaatannya kepada Allah. Semakin berkualitas seseorang kepada Allah, maka akan digoda oleh iblis kelas berat. 

Di sinilah pentingnya kita selalu memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu Wata'ala untuk menjaga niat. Apalagi manusia memiliki nafsu yang cenderung mengarahkan kepada hal-hal yang buruk dan jahat. Bila ia tidak diarahkan sebagaimana mestinya, maka ia akan bekerja sama dengan iblis untuk merusak niat seseorang, baik itu lewat penyakit ujub, riya, dan sum’ah. Kunci ibadah adalah ikhlas. Dan ikhlas itu ada di dalam hati orang yang melakukan amal tersebut. Maka sah atau tidaknya pahala amal itu, tergantung pada niat ikhlas atau tidak hati pelakunya. Jika dalam melakukan amal itu hatinya bertujuan untuk mendapat pujian dari manusia, maka hal itu berarti tidak ikhlas. Akibatnya amal ibadah yang diusahakannya tidak menerima pahala dari Allah. 

Wallahu A'lam

Surga atau al jannah adalah suatu tempat di alam akhirat yang dipercaya oleh para penganut beberapa agama sebagai tempat berkumpulnya roh-roh manusia yang semasa hidup di dunia berbuat kebajikan sesuai ajaran agamanya. Istilah ini berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu Svarga. Dalam bahasa Jawa kata tersebut diserap menjadi Swarga. Istilah Surga dalam bahasa Arab disebut Jannah. Kahyangan dalam Budaya di pulau Jawa Istilah Kahyangan berasal dari bahasa Jawa Kuno dan Bahasa Sunda yang jika dipilah menjadi ka-hyang-an, atau bermakna "tempat tinggal para Hyang atau leluhur". 

Dalam Islam Qur'an banyak bercerita tentang sebuah kehidupan setelah mati di surga untuk orang yang selalu berbuat baik. Surga itu sendiri sering di jelaskan dalam Al-Qur'an surat Ar-Ra'du 13:35: “ Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa ialah (seperti taman). mengalir sungai-sungai di dalamnya; buahnya tak henti-henti, sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertakwa; sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka. (Ar-Ra'du 13:35) ” 

Setiap muslim harus percaya bahwa semua manusia dilahirkan suci. Dalam Islam pula, jika ada seorang bocah yang mati, maka secara otomatis akan pergi ke surga, tanpa memedulikan agama kedua orang tuanya. Surga tertinggi tingkatnya adalah Firdaus (فردوس) - Pardis (پردیس), dimana para nabi dan rasul, syuhada dan orang-orang saleh. 

Tingkatan dan nama-nama syurga ialah : Jannatul Firdaus yaitu surga yang terbuat dari emas merah. Jannatul 'Adn yaitu surga yang terbuat dari intan putih. Jannatun Na'iim yaitu surga yang terbuat dari perak putih. Jannatul Khuldi yaitu surga yang terbuat dari marjan yang berwarna merah dan kuning. Jannatul Ma'wa yaitu surga yang terbuat dari zabarjud hijau. Darus Salaam yaitu surga yang terbuat dari yaqut merah. Darul Jalal yaitu surga yang terbuat dari mutiara putih. Darul Qarar yaitu surga yang terbuat dari emas merah. 

Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam surga (taman-taman) dan (di dekat) mata air-mata air (yang mengalir). (Dikatakan kepada mereka): “Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman. Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan. Mereka tidak merasa lelah di dalamnya dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan daripadanya.” (QS.Al-Hijr:45-48)

"Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera” (QS.Al-Hajj 23)

“Sesungguhnya penghuni syurga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka). Mereka dan isteri-isteri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan. Di syurga itu mereka memperoleh buah-buahan dan memperoleh apa yang mereka minta. (Kepada mereka dikatakan): “Salam”, sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang” (QS.Yaa-siin 55—58)

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam tempat yang aman, (yaitu) di dalam taman-taman dan mata-air-mata-air mereka memakai sutera yang halus dan sutera yang tebal, (duduk) berhadap-hadapan, demikianlah. Dan Kami berikan kepada mereka bidadari Di dalamnya mereka meminta segala macam buah-buahan dengan aman (dari segala kekhawatiran)” (QS.Ad- Dukhaan: 51-55)

Sebuah laku tirakat yang berlaku untuk seluruh makhluk hidup adalah puasa. Ulat agar bisa terbang menjadi kupu-kupu Ulat harus berpuasa terlebih dahulu. banyak hal yang dapat diraih melalui puasa. Orang-orang terdahulu tanpa mempermasalahkan sisi ilmiahnya aktivitas puasa telah berhasil mendapatkan segala daya kelebihan atau keistimewaan melalui puasa yang lazim disebut tirakat. 

Para spiritualis mendapatkan Wahyu / karomah maupun Wisik ( Petunjuk ghoib melalui puasa terlebih dahulu). Dan tradisi itu masih terus dilestarikan orang-orang zaman sekarang, Intinya sampai kapanpun orang tetap meyakini dengan mengurangi makan dalam hal ini adalah puasa, seseorang akan memperoleh inspirasi atau intuisi. Tradisi kita, ketika secara budaya sudah tiada lagi tempat untuk bertanya, melalui puasa seseorang bisa mendapatkan telinga yang baru dan ketika ia tak lagi mampu berkata, dengan puasa seseorang mampu memperoleh mulut yang baru. Secara logika, puasa adalah bentuk kesungguhan yang diwujudkan melalui melaparkan diri. Hanya orang-orang yang sungguh-sungguh saja yang sanggup melakukannya. 

Aktivitas ini jika ditinjau dari sisi ilmu batin, menunjukan bahwa kesungguhan memprogram niat itu yang akan menghasilkan kelebihan-kelebihan. Hati yang diprogram dengan singguh-sungguh akan menghasilkan seseuatu yang luar biasa. Karena itu dalam menempuh ilmu batin, aktivitas puasa mutlak dibutuhkan. Karena didalam puasa itu tidak hanya bermakna melaparkan diri semata. Lebih dari itu, berpuasa memiliki tujuan manonaktifkan nafsu syaithoni. Non aktifnya nafsu secara tidak langsung meninggikan taraf spiritual manusia, sehingga orang-orang yang berpuasa do'a nya makbul dan apa yang terusik dalam hatinya sering menjadi kenyataan. 

Menurut Imam Syafi'i dengan berpuasa seseorang terhindar dari lemah beribadah, berat badanya, keras hatinya, tumpul pikirannya dan kebiasaan mengantuk. Dari penyelidikan ilmiah puasa diyakini tidak hanya memiliki pengaruh terhadap kesehatan manusia akan tetapi juga memiliki pengaruh terhadap ketajaman mata batin karena kuatnya dalam mengurangi syahwat atau mengurangi tidur malam hari (al ayat). Bahkan burung hantu yang dilambangkan sebagai lambang ilmu pengetahuan pun disebabkan karena kebiasannya "Tafakur" pada malam hari. 

Memperbanyak tafakur malam hari menyebabkan seseorang memiliki "Mata Lebar", yaitu ketajaman dalam melihat dan membaca apa-apa yang tersirat dibalik kemisterian alam semesta ini. Bahkan ketika agama Islam datang pun membenarkan informasi sebelumnya yang dibawa oleh agama lain. Hanya Islam yang menginformasikan bahwa dengan ber-Tahajud ketika orang lain terlelap dalam tidur, menyebabkan orang itu akan ditempatkan Allah SWT pada tempat yang terpuji. 

Pada keheningan malam terdapat berbagai hikmah. Melawan "Nafsu" tidur menuju ibadah kepada Allah Subhanahu Wata'ala dan dalam suasana hening itu konsentrasi mudah menyatu. Saat inilah Allah Subhanahu Wata'ala memberikan keleluasaan kepada hamba-hamba-Nya guna memohon apa saja yang diinginkan. Banyak para spiritualis yang memiliki keunikan dalam ilmu batin bukan karena banyaknya ilmu dan panjangnya amalan yang dibacanya, melainkan karena keistiqomahan dalam menjalankan perintah Allah Subhanahu Wata'ala dengan membiasakan diri tafakur dan beribadah pada malam hari, maka Allah SWT akan memberikan keberkahan dalam ilmu-ilmu-Nya.

Wallahu A'lam

"Memperhatikan kebesaran Allah Subhanahu Wata'ala dan membiasakan diri tetap lurus istiqomah"


Istikamah (istiqamah) menurut istilah bahasa ialah konsisten. Istikamah artinya teguh hati untuk mencintai dan beribadah kepada Allah, tidak menoleh dari-Nya ke kiri atau ke kanan. Istikamah merupakan kata yang mengandung banyak makna, meliputi berbagai sisi agama, yaitu berdiri di hadapan Allah secara hakiki dan memenuhi janji. Istiqamah berkaitan dengan perkataan, perbuatan, dan niat. Rasulullah saw. memerintahkan kepada kita agar mencapai istikamah, yaitu jalan yang lurus dan niat yang benar dalam perkataan dan perbuatan. Isitikamah dalam beribadah jika dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari akan mendapatkan manfaat yang banyak. Tetapi, untuk mencapai istikamah, kita perlu berjuang dan membiasakan diri dalam beribadah, melalui perjuangan membiasakan diri dalam beribadah, yang insya Allaah nantinya akan dapat mencapai tingkat istikamah dengan sendirinya. 

Seseorang yang di dalam kesehariannya tidak ada upaya untuk membiasakan diri dalam melakukan ibadah, maka tidak akan menemui apa yang disebut istikamah. Untuk menuju ibadah yang istikamah, kita perlu mempraktikannya sedikit demi sedikit. Kita laksanakan ibadah yang wajib dengan tertib. Setelah itu kita tingkatkan lagi dengan melaksanakan ibadah yang wajib tepat pada waktunya. Untuk mencapai kestabilan dalam mempertahankan ibadah wajib ini, kita juga perlu perjuangan dan perlu membiasakan. Tidak bisa seseorang itu langsung sempurna dalam istikamahnya, apalagi orang yang baru melaksanakan syariat. Setelah itu, jika sudah mampu merutinkan beribadah wajib dengan disiplin dan tepat waktu, kita perlu meningkatkan kepada ibadah sunah. Ini pun perlu dilaksanakan sedikit demi sedikit. Karena, jika seseorang mengambil ibadah sunah langsung kebanyakan, dikhawatirkan tidak kuat dan justru akan mengganggu ibadah yang wajib. Jika amalan sunah ini dijalankan dengan baik dan sudah stabil, seseorang sudah mulai menginjak tingkatan istikamah.

Dengan istikamah itu, kita akan mendapat pertolongan dari Allah. Beribadah secara istikamah dapat membuahkan iman dan akhlak yang mulia. Kemantapan iman bagi seseorang yang telah mencapai istikamah akan sangat membekas di dalam hatinya. Hati kita menjadi mantap dan merasakan ketenangan di dalam jiwa. Keadaan ini akan mengantarkan kita kepada peningkatan diri di dalam membersihkan kotoran batin. Dengan semakin dikikisnya kotoran batin kita, hati kita akan semakin jernih, hingga akhirnya mencapai hati yang benar-benar jernih, bebas dari berbagai macam kekotoran. Inilah keadaan yang dicita-citakan setiap orang, yaitu orang yang bersih hatinya. 

Beribadah secara istikamah juga mengantarkan kita agar sentiasa merasakan kelezatan di dalam menjalankan ibadah. Karena, ibadah yang kita lakukan dengan hati dan jiwa secara istikamah akan dirasakan manis dan lezat bagi hati dan jiwa itu. Itulah sebabnya beribadah sedikit tapi istikamah lebih disukai oleh Allah daripada beribadah banyak tapi tidak istikamah. Beribadah secara istikamah walaupun sedikit memiliki dampak atau pengaruh yang sangat kuat bagi hati dan jiwa. Kita bisa melihat perbandingan beberapa keadaan sebagai contoh. Kita pernah melihat betapa batu yang sangat keras bisa berlubang karena titik-titik air dari atas jatuh menimpanya dalam waktu yang lama. Kita sulit membayangkan bahwa batu itu dapat berlubang sekaligus dengan hanya beberapa guyuran air yang melimpah. Untuk mencapai istikamah, seseorang tidak harus memaksakan dirinya melaksanakan apa yang tidak sanggup untuk dilaksanakan. Tetapi, laksanakanlah apa yang mampu untuk diamalkan. Rasulullah saw. bersabda, "Lakukan apa yang mampu kamu amalkan. Sesungguhnya Allah tidak jemu sehingga kamu sendiri yang jemu." (HR Bukhari). 

Dengan berusaha mengamalkan ibadah sedikit demi sedikit, seseorang akan bisa melakukan ibadah yang lebih banyak. dengan adanya persiapan, seseorang akan mampu melakukan apa yang dipersiapkan itu. Banyak orang tidak mengetahui betapa besarnya fadilah beristikamah dalam beribadah. Kebanyakan seseorang beramal karena semangat yang hanya bersifat sementara. Apalagi, amalan seseorang itu bukan dari dorongan diri sendiri, tapi karena pengaruh lingkungan, atau dorongan dari luar. Ibadah yang semacam ini sangat sulit untuk mencapai istikamah. Ibadah yang semacam ini hanya akan muncul ketika ada kebutuhan. Ketika seseorang tidak membutuhkan kebutuhan itu, maka seseorang tidak akan melakukannya. Jadi, dorongan melakukan ibadah itu semata-mata karena ada yang dikehendakinya. Maka, bagaimana mungkin seseorang yang beribadah semacam ini dapat mencapai istikamah. 

Dengan beribadah secara istikamah, seseorang akan merasa tenteram hatinya. Tidak merasa gundah dan bersedih hati orang-orang yang telah mencapai istikamah. Allah SWT berfirman, 

 إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ

أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ


Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada pula berduka cita.

Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.

(Al-Ahqaf: 13-14). 

Semoga kita senantiasa diberikan Keistiqamahan oleh Allah Subhanahu Wata'ala 

Wallahu A'lam

Ilmul Yaqin, Ainul Yaqin, Hakqqul Yaqin

Manusia dalam perjalanan hidupnya selalu membutuhkan ilmu. Karena hal itu sudah menjadi fitrah manusia sejak manusia diciptakan, untuk selalu mengejar apa yang belum dia ketahui. Masing-masing manusia memiliki pengetahuan yang berbeda yang telah dianugerahkan oleh Allooh Subhanahu Wata'ala. 

Namun, manusia hanya memiliki sedikit umur dan terbatasnya jangkauan alam pikirannya. Allah sudah memberitahu kita tentang hal ini dalam Al-qur’an yakni: “Aku tidak menganugerahi kalian ilmu kecuali hanya sedikit”. Kurang lebih terjemahannya demikian.

Jadi sebesar apapun pengetahuan yang dimiliki oleh manusia hanyalah sebagian kecil saja dari Ilmu yang Allooh Subhanahu Wata'ala miliki. Ilmul Yaqin, Ainul Yaqin, Hakqqul Yaqin adalah tahapan dalam pendirian seseorang dalam pandangan Musyahadahnya (penyaksiannya) kepada Allah Swt. 
Di dalam Ilmul Yaqin segala pengetahuan ilmu telah diliputi dengan Ilmu Allah sehingga apapun amaliah maupun ubudiyah itu semua menunjukkan dari pada lautan Ilmu Allah Ta’ala. Di dalam Ainul Yaqin, tatkala seseorang telah melihat sesuatu amalaiah dan ubudiyah diliputi oleh Ilmu Allah kemudian ia menyaksikan bahwa di dalam gerak dan diam (lelaku) itu adalah saksi Hidupnya Allah Ta’ala yang menunjukkan adanya Allah Ta’ala sebagai tujuan hidupnya. dengan Merasakan dan menyadari gerak dan diam, suara dan perkataan itu adalah saksi hidupnya Allah Ta’ala maka sama halnya ia merasakan dan menyadari kehadiran Allah Ta’ala dekat sekali dengan dirinya. “Bukan menghadirkan Allah” akan tetapi menyadari bahwa “Allah senantiasa Maha Hadir atas dirinya dan sekalian Alam / meliputi tiap-tiap sesuatu”. 

di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan ? Adz Dzaariyaat : 20 - 21

“Wahuwa Ma’akum Ainama kuntum” (Dia Allah serta kamu di mana kamu berada). Haqqul Yaqin, adalah kemantapan dalam pendirian yang kokoh setelah ia mengetahui kemudian ia melihat dengan penyaksian lalu kemudian tertanam sedalam dalamnya pada dirinya bahwa : “SEGALA SESUATU APAPUN YANG TERLIHAT, TIDAK ADA YANG ADA MELAINKAN ILMU ALLAH TA’ALA, SEGALA SESUATU APAPUN YANG TERDENGAR TIDAK ADA YANG ADA MELAINKAN KALAM ALLAH TA’ALA, DAN TIDAK ADA YANG TERASA MAUPUN DIRASAKAN MELAINKAN SIRRULLAH (ZATULLAH)”. Setelah semua perjalanan dan tahapan itu misra/meresap pada diri, maka Allah akan JAZBAH dirinya sehingga sampailah ia pada maqom “KAMALUL YAQIN” 

Wallahu A’lam Bishshawab.

At Takaatsur : 1 - 8

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (١) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (٢) كَلا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (٣

ثُمَّ كَلا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (٤) كَلا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ (٥

لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ (٦) ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ (٧

ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ (٨

  1. Bermegah-megahan telah melalaikan kamu ,
  2. Ssampai kamu masuk ke dalam kubur. 
  3. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui akibat perbuatanmu itu, 
  4. dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. 
  5. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, 
  6. niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, 
  7. dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin 
  8. kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan yang kamu megah-megahkan di dunia itu.  
At Takaatsur : 1 - 8

Siddiq (صدیق ) yang berarti "jujur​​" adalah istilah Islam dan diberikan sebagai gelar kehormatan kepada individu tertentu. Kata ini kadang-kadang digunakan sebagai gelar yang diberikan khusus menurut sumber-sumber Islam. Jika tidak, itu digunakan untuk menunjukkan bahwa orang tersebut benar-benar dapat dipercaya. 

Sunni 

Dalam Islam Sunni Siddiq digunakan sebagai nama panggilan untuk Abu Bakar, khalifah pertama Islam dan teman terdekat Rasulullooh Muhammad, sementara Siddiqah digunakan untuk putrinya dan istri nabi Islam Muhammad Aisha.

Syiah

Syiah menggunakan Siddiqah sebagai panggilan untuk putri Rasulullah Muhammad Fatimah. penulis Syiah yang meminta Sunni ketika merenungkan konflik mereka secara intens dan mendalam, bagaimana mungkin untuk keduanya baik Abu Bakar dan Fatimah menjadi "Siddiq", hal ini menyiratkan logika yang menuntut seseorang untuk menjadi pendusta dengan alasan yang kemudian menjadi konflik diantara mereka berdasarkan kepada kesalahpahaman murni, bukan kepercayaan mereka. 

Tasawuf

Dalam tasawuf, Siddiq adalah peringkat yang datang setelah nabi. Hal ini umumnya diberikan kepada seseorang yang diverifikasi klaim kenabiannya dalam tahap awal. Sufism percaya empat jajaran bebas waktu dan ruang dan karena itu hidup dan mati menjadi tidak berarti bagi mereka. 
Nabi - Nabi, seseorang yang mengetahui yang gaib dari Tuhan langsung Siddiq 
Hari Muslim awal yang belajar terlihat dari Muhammad 
Pejuang, seseorang yang memberikan hidup mereka untuk kehendak Allah
Shalih - Benar, seseorang yang menghabiskan setiap sedikit hidup mereka sesuai kehendak Allah dan dengan demikian mencapai status "Baqaa" melalui Fanaa, Juga disebut sebagai Wali.

Inilah 4 peringkat yang bisa diberikan gelar Siddig seperti disebutkan dalam kitab suci Al-Quran.

AL BARRU (Dzat Yang Maha Dermawan) 

Apabila seseorang didalam beramal (menjadi perantara Allah) tidak sombong, kemudian dia merasa kurang didalam beramal dan ingin berbuat lebih banyak dan lebih baik lagi, sedangkan apa yang dimilikinya sangat terbatas, maka Allah Ta'ala memerintahkan agar memohon tambahan rizki kepadaNya. Karena Allah adalah Dzat Yang Maha Dermawan. Inilah satu-satunya asma yang diperbolehkan untuk meminta tambahan rizki untuk melakukan ketaatan. Akan tetapi dermawan-Nya Allah Ta'ala ini hanya berlaku kepada orang-orang yang dermawan dijalanNya, bukan kepada orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya. Karena Allah Ta'ala akan menambah rezeki kepada hamba-hambaNya yang merasa kurang dalam melakukan ketaatan kepadaNya. Jadi boleh memohon ditambah rizki untuk bertambah ibadah setelah adanya bukti. Artinya terlebih dahulu kita harus membuktikan bahwa kita memang dermawan, baru memohon untuk ditambah. Sebagai contohnya setiap bulan kita menafkahkan harta dijalan Allah Ta'ala sebanyak satu juta, akan tetapi kita masih merasa kurang dan ingin menafkahkan dijalan Allah Ta'ala lebih banyak lagi. Barulah kita diperbolehkan untuk memohon tambahan rizki kepada Allah Ta'ala. Akan tetapi setelah diberi oleh Allah Ta'ala, jangan sekali-kali ingkar janji dan menipu Allah Ta'ala. 

Disini yang diperbolehkan adalah meminta untuk ditambah bukan meminta untuk melakukan kebaikan. Maksudnya adalah, terlebih dahulu harus kita buktikan bahwa kita telah melakukan kebaikan-kebaikan, setelah itu baru memohon ditambah. Jangan sekali-kali kita minta supaya diberi sebelum ada bukti yang kita lakukan. Ibaratnya ada seseorang yang meminta agar ditambah uangnya untuk membeli motor, akan tetapi uangnya sendiri hanya Rp. 15.000,00 padahal harga motor mencapai 15 juta. Hal seperti ini namanya bukan menambahi tetapi minta dibelikan. Sama halnya seperti orang-orang yang belum bisa membuktikan kebaikannya tetapi dia minta ditambah oleh Allah Ta'ala.

Didalam hidup ini kita harus selalu berfikir : Apa yang sudah aku lakukan untuk Allah? Jangan sekali-kali berfikir terbalik, yaitu menuntut Allah Ta'ala agar memenuhi segala kebutuhan hawa nafsu kita. Begitupun juga terhadap sesama manusia kita juga harus selalu berfikir : Kebaikan apa yang sudah aku lakukan untuk orang lain? Jangan sekali-kali kita berfikir : Kebaikan apa yang telah orang lain lakukan untuk aku? Apabila kita selalu berfikir apa yang sudah orang lain lakukan buat kita, maka kita termasuk orang-orang fasik. Karena yang namanya amal sholeh adalah membuat orang lain senang sesuai dengan syareat yang telah Allah Ta'ala tentukan. Bukan membuat orang lain menjadi susah. Padahal semakin banyak orang yang memberi sesuatu kepada kita, maka semakin banyak hisab yang akan kita pertanggung jawabkan diakhirat kelak. Akan tetapi semakin banyak kita memberi, maka semakin ringan hisab kita diakhirat kelak. 

Didalam melakukan kebaikan-kebaikan tidak hanya terbatas pada masalah harta saja, akan tetapi juga bisa dengan ilmu dan tenaga. Dengan kata lain segala sesuatu yang Allah titipkan kepada kita, bisa kita gunakan untuk melakukan ketaatan atau kebaikan-kebaikan. Dan setelah kita buktikan lalu merasa kurang dan ingin melakukan kebaikan yang lebih banyak lagi, maka barulah kita memohon tambahan rizki kepada Allah Ta'ala. Oleh sebab itu berusahalah untuk menjadi mesin amal. Maksudnya adalah, apabila kita melakukan kebaikan yang nilanya jariyah, maka amalnya akan terus mengalir sampai hari kiamat kelak. Akan tetapi dengan satu syarat kita harus menjadi orang yang beriman terlebih dahulu. 

Dalam hidup ini jangan sampai kita menjadi orang yang Thulul Amal (panjang angan-angan). Maksudnya berangan-berangan andaikata punya harta banyak akan bersedekah. Yang benar adalah apapun yang telah Allah berikan ini kita sedekahkan walaupun nilainya kecil. Oleh sebab itu didalam agama Islam tidak boleh beribadah seperti dua hal : 

1. Bekerja seperti buruh : Apabila ada gaji mau bekerja kalau tidak ada tidak mau bekerja. Dan apabila gaji telat diberikan akan demo (unjuk rasa). Maksudnya apabila Allah memberi harta mau beribadah tetapi jika Allah belum memberi tidak mau beribadah. Dan jika Allah telat memberi akan berkeluh kesah. 

2. Bekerja seperti pembantu : Apabila juragan marah baru bekerja kalau tidak marah tidak bekerja. Maksudnya mau melakukan ibadah menunggu Allah memberikan peringatan-peringatanNya. 

A. Sisi Tafakkurnya Berapa banyak tambahan-tambahan rizki yang Allah berikan kepada kita yang betul-betul kita manfaatkan untuk menambah amal ibadah atau amal sholeh? Apabila tambahan rizki tersebut tidak menambah amal ibadah atau amal sholeh, berarti tambahan rizki tersebut bayaran Allah Ta'ala didunia, sedangkan diakhirat tidak mendapat apa-apa. 

B. Contoh Do'a Dari Sisi Keimanan Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang hanya memohon bertambahnya rizki kami agar bertambah juga amal sholeh kami. 

C. Sikap Orang Beriman Dia sangat yakin bahwa Allah Ta'ala adalah Dzat Yang Maha Dermawan. Apabila dia bisa menjadi orang yang amanah dan tidak sombong, kemudian dia memohon tambahan untuk menambah amal-amal sholeh, niscaya Allah Ta'ala akan memberi. 

D. Sikap Orang Bertaqwa Dia selalu ingin berbuat kebaikan walau sekecil apapun. Dan apabila merasa kurang, dia akan memohon kepada Allah Ta'ala. Dan apabila telah diberi, maka dia betul-betul menggunakannya untuk beramal sholeh bukan untuk kepuasan nafsunya. Dengan kata lain dia tidak mau memohon untuk kebutuhan hawa nafsunya walaupun hanya sedikit. 

E. Contoh Doa Dari Sisi Ketaqwaan Ya Allah, tolonglah kami agar kami selalu berkeinginan untuk selalu menambah amal sholeh kami. 

F. Sikap Orang Bertawakkal Apabila dia telah membuktikan dengan melakukan amal-amal sholeh, kemudian dia merasa kurang dan telah memohon tambahan kepada Allah Ta'ala, maka masalah hasilnya dia serahkan sepenuhnya kepada Allah Ta'ala. Dia sangat yakin bahwa apabila keinginannya itu bermanfaat pasti akan dikabulkan oleh Allah Ta'ala, akan tetapi jika tidak bermanfaat maka akan ditunda terlebih dahulu. Dan semua itu tidak dia permasalahkan, yang penting apa yang ada sekarang ini dia gunakan untuk beramal sholeh. Dia tidak menunggu ditambah oleh Allah Ta'ala terlebih dahulu baru beramal sholeh. 

G. Sikap Orang Mukhlis Apabila dia tidak bisa amanah atau dia menjadi sombong, kemudian Allah Ta'ala mengurangi pemberian-Nya, maka semua itu dia terima dengan ikhlas dan tidak membuat dia kecewa. Dan andaikata Allah Ta'ala menambah pemberian-Nya, dia juga ikhlas menerimanya. Kemudian dia akan menambah lebih banyak lagi didalam beramal sholeh. Karena penambahan Allah Ta'ala bukan untuk kebutuhan hawa nafsu, melainkan agar hambaNya bertambah banyak lagi didalam beramal sholeh. 

Akan tetapi kebanyakan orang menganggap bahwa penambahan Allah Ta'ala adalah sebuah upah, sehingga tidak menambahnya untuk berbuat amal sholeh, melainkan untuk memperturutkan hawa nafsu. Padahal tujuan Allah Ta'ala menambah pemberian-Nya adalah agar bertambah pula amal sholeh yang dia lakukan, sehingga akan bertambah pula amalnya diakhirat kelak. Bahkan banyak sekali orang-orang yang melakukan amal sholeh dengan niat duniawi. Sebagai contohnya dia bersedekah dengan harapan Allah Ta'ala membalas dengan yang lebih besar lagi didunia. Padahal andaikata semua kebaikan yang dia lakukan semuanya dibalas didunia, maka diakhirat nanti dia tidak memperoleh kebaikan apa-apa melainkan neraka. 

H. Sikap orang-orang yang telah meneladani Asma Al Barru Apabila ia sudah menjadi kholifah, maka amal sholehnya akan selalu bertambah dengan bertambahnya rizki. Dengan kata lain apabila bertambah rizkinya maka bertambah pula amal ibadah atau amal sholehnya. Karena ia meminta tambahan rizki hanya untuk menambah ketaatan kepadaNya, bukan untuk hawa nafsunya. 

I. Contoh doa bagi yang ingin meneladani Asma Al Barru Ya Allah, jadikanlah kami perantara-perantaraMu untuk memperingatkan manusia, apabila mereka bertambah rizkinya hendaklah mereka menambah amal ibadah dan amal sholehnya. Agar mereka dapat memahami bahwa penambahan rizki yang diberikan Allah Ta'ala kepada mereka adalah untuk menambah amal ibadah dan amal sholeh mereka. 

Wallahu A'lam

Sumber sumber Hukum Islam

1. Al Qur'an
Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman (QS Saba 34:28). Selain sebagai sumber ajaran Islam, Al Qur'an disebut juga sebagai sumber pertama atau asas pertama Syara'. Al Qur'an merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya yang pernah diturunkan ke dunia. Dalam upaya memahami isi Al Qur'an dari waktu ke waktu telah berkembang tafsiran tentang isi-isi Al Qur'an namun tidak ada yang saling bertentangan.

2. Al Hadist
1. Hadits Hasan 2. Hadits Shaheh 3. Hadits Dhaif

3. Ijtihad Ijtihad adalah sebuah usaha untuk menetapkan hukum Islam berdasarkan Al Qur'an dan Al Hadist. Ijtihad dilakukan setelah Nabi Muhammad SAW wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada beliau tentang sesuatu hukum.

Namun, ada hal-hal ibadah tidak bisa di ijtihadkan. Beberapa macam ijtihad, antara lain :

  1. Ijma', kesepakatan para-para ulama 
  2. Qiyas, diumpamakan dengan suatu hal yang mirip dan sudah jelas hukumnya 
  3. Maslahah Mursalah, untuk kemaslahatan umat 
  4. 'Urf, kebiasaan

Syariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebagian penganut Islam, syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini. 

Terkait dengan susunan tertib syariat, Al Qur'an dalam surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan Rasul-Nya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu, secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan Rasul-Nya belum menetapkan ketentuannya, maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat Al Qur'an dalam Surat Al Maidah (QS 5:101) yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah. 

Dengan demikian, perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya kepada Allah SWT itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara' dan perkara yang masuk dalam kategori Furu' Syara'.

Asas Syara' 

Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Qur'an atau Al Hadits. Kedudukannya sebagai Pokok Syari'at Islam dimana Al Qur'an itu asas pertama Syara' dan Al Hadits itu asas kedua Syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia dimanapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad SAW hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat. 

Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat Islam tidak mentaati Syariat Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syariat yang berlaku. 

Furu' Syara' 

Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al'quran dan Al Hadist. Kedudukannya sebagai cabang Syariat Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaanya. Perkara atau masalah yang masuk dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai perkara ijtihadiyah.