Sebelumnya saya memiliki pengharapan yang palsu dan bahkan tidak memiliki pengharapan dalam kehidupan ini. Tetapi sesuatu telah membuat saya bangkit da hal ini yang membuat saya menghadap hadirat-Mu, memohonkan biarlah Engkau memberikan pengharapan yang sejati di dalam kehidupanku. Ampuni segala dosa-dosa saya dan biarlah Engkau saja yang mengendalikan seluruh kehidupanku dan memberikan pengharapan yang sejati dalam kehidupanku. "

Di antara manusia ada yang mengorbankan dirinya untuk meraih ridha Allah Subhanahu Wata'ala. Dan adalah Allah Maha Penyantun terhadap hamba-hamba-Nya”. (Al-Baqarah: 207) 

Berdasarkan sebab nuzul yang dikemukakan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim, ayat ini memberi gambaran konkrit tentang seseorang yang rela mengorbankan segala yang dimilikinya semata-mata untuk meraih ridha Allah dalam seluruh totalitas kehidupannya. Karena ia yakin, ridha Allah merupakan target puncak dari sebuah proses panjang keimanan yang merupakan implementasi nyata dari kesempurnaan takwa ‘كمال التقوى ‘,  Maka Allah menghendaki sikap mengagumkan yang harus ditunjukkan oleh orang yang benar-benar beriman yang membedakannya dengan orang munafik, yaitu kesiapannya untuk memenuhi perintah Allah meskipun harus dengan mengorbankan segalanya demi meraih gelar tertinggi di mata Allah. Karena dengan meraih ridha Allah, segala kebaikan, kemuliaan dan keberkahan hidup akan senantiasa menyertainya dan Allah akan senantiasa hadir untuk memberikan pertolongan kepadanya.


Pelajaran tentang dua tipe manusia sepanjang zaman; seorang munafik yang menjadikan seluruh hidupnya demi kepentingan dunia dan seorang mukmin yang benar yang menggadaikan totalitas hidupnya untuk Allah, tanpa tersisa sedikitpun untuk selain-Nya. Maka secara spesifik di ayat selanjutnya Allah mengarahkan orang-orang yang beriman agar menjadikan totalitas hidupnya dalam kerangka berIslam secara utuh tanpa ada keraguan sedikit pun. Allah swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ 

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara kaafah dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi kalian”. (Al-Baqarah: 208)

Berislam secara kaaffah seperti yang diperintahkan oleh Allah dalam ayat ini berarti meninggalkan segala bentuk langkah syaitan secara totalitas juga. Terbawa dan hanyut dalam salah satu dari jerat syaitan akan mengurangi totalitas keislaman kita. Karenanya, langkah-langkah syaitan dimaknai oleh para ulama dalam arti setiap perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu Wata'ala. Di sini, berislam secara kaaffah sebagai wujud dari motifasi untuk meraih ridha Allah akan senantiasa berdepan dengan beragam langkah syaitan yang secara sistemik dan berkesinambungan berusaha mereduksi keyakinan untuk berislam secara totalitas dalam beragam bentuk dan tampilannya. Inilah yang harus diantisipasi dan diwaspadai oleh segenap orang yang beriman tanpa harus lengah sedikit pun.

Ridha berasal dari kata radhiya-yardha yang berarti menerima suatu perkara dengan lapang dada tanpa merasa kecewa ataupun tertekan. Sedangkan menurut istilah, ridha berkaitan dengan perkara keimanan yang terbagi menjadi dua macam. Yaitu, ridha Allah kepada hamba-Nya dan ridha hamba kepada Allah sebagaimana diisyaratkan Allah dalam firman-Nya, ''Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.'' (QS 98: 8). Ridha Allah kepada hamba-Nya adalah berupa tambahan kenikmatan, pahala, dan ditinggikan derajat kemuliaannya. Sedangkan ridha seorang hamba kepada Allah mempunyai arti menerima dengan sepenuh hati aturan dan ketetapan Allah. Menerima aturan Allah ialah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.

Antara Ridha Dan Pasrah

Dari definisi ridha tersebut terkandung isyarat bahwa ridha bukan berarti menerima begitu saja segala hal yang menimpa kita tanpa ada usaha sedikit pun untuk mengubahnya. Ridha tidak sama dengan pasrah. Ketika sesuatu yang tidak diinginkan datang menimpa, kita dituntut untuk ridha. Dalam artian kita meyakini bahwa apa yang telah menimpa kita itu adalah takdir yang telah Allah tetapkan, namun kita tetap dituntut untuk berusaha. Allah berfirman, ''Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.'' (QS 13: 11).

Hal ini berarti ridha menuntut adanya usaha aktif. Berbeda dengan sikap pasrah yang menerima kenyataan begitu saja tanpa ada usaha untuk mengubahnya. Walaupun di dalam ridha terdapat makna yang hampir sama dengan pasrah yaitu menerima dengan lapang dada suatu perkara, namun di sana dituntut adanya usaha untuk mencapai suatu target yang diinginkan atau mengubah kondisi yang ada sekiranya itu perkara yang pahit. Karena ridha terhadap aturan Allah seperti perintah mengeluarkan zakat, misalnya, bukan berarti hanya mengakui itu adalah aturan Allah melainkan disertai dengan usaha untuk menunaikannya.

Salah persepsi maupun aplikasi terhadap makna ayat- ayat yang memerintahkan untuk bersikap ridha terhadap segala yang Allah tetapkan. Dengan kata lain pasrah akan melahirkan sikap dan tindakan yang pesimis. Sedangkan ridha justru mengajak orang untuk optimistis.

Wallahu a'lam.

0 comments