“Bila seekor keledai terperosok di kota Baghdad niscaya Umar akan diminta pertanggungjawaban, seraya ditanyakan: ‘Mengapa tidak meratakan jalan untuknya?” (Umar bin Khattab r.a.).

Ucapan Khalifah Umar bin Khattab itu menunjukkan bahwa sahabat Nabi SAW itu sangat berhati-hati dan bertanggung jawab, Terutama tanggung jawabnya dalam memimpin rakyatnya. Ada ketakutan yang luar biasa, bila program-program dalam kepemerintahannya tidak menyentuh hajat rakyat banyak.

Apalagi di akhirat kelak, akan dimintai pertanggungjawaban. Sebagaimana disebutkan dalam Alquran (QS. Ash Shaaffat: 22-24), kelak akan diperintahkan para malaikat untuk mengumpulkan orang-orang zalim beserta teman-teman mereka dan segala yang mereka sembah selain Allah dan diperintahkan untuk menunjukkan kepada mereka jalan ke neraka. Dan diperintahkan mereka ditahan di tempat perhentian dimintai pertanggungjawaban.

Ucapan Umar bin Khattab dan ayat ini bisa digunakan untuk mengamati sekaligus menilai bagaimana gerak-gerak para (calon) pemimpin dan wakil rakyat yang kini mulai lagi mengiming-imingi program-programnya. Semua imingan itu kedengarannya luar biasa dan sangat menyejukkan hati. Semuanya mengarah pada upaya mengutamakan dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

Di antara pesan yang penting adalah membuka mata untuk melihat kebutuhan-kebutuhan rakyat. Rakyat tidak memerlukan program-program yang melayang ke langit, karena di bumi pun kebutuhan dasar masih banyak yang perlu dipenuhi. Tanpa harus membuka dua belah mata pun, akan didapati jalan-jalan dan jembatan-jembatan yang memprihatinkan. Apalagi kalau digunakan ribuan pasang mata aparat pemerintahan, sungguh akan terlihat banyak kebutuhan rakyat lainnya.

Wallahu A'lam

Betapa meruginya seorang anak manusia bila pohon yang ditanam, apalagi sudah menghabiskan modal yang tak sedikit dan menunggu bertahun-tahun, tidak berbuah. Begitu perumpamaan dalam mencari ilmu....?  Umumnya manusia menghabiskan uang yang tak sedikit, umur yang banyak, dan kelelahan yang tiada terhingga, untuk menuntut ilmu.

Namun ketika memperolehnya, ilmu tersebut kadangkala bagaikan pohon yang tak berbuah atau buah yang tak dapat dinikmati.

Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, buah dari ilmu menyebabkan seorang hamba dipuji Allah. Tentunya tak akan mendapat pujian dari Allah bila tidak mengamalkan ilmu dengan menunjukkan ketaatan dan ketakutan kepadaNya. Dalam Alquran disebutkan, 

"Yang merasa takut kepada Allah hanyalah orang-orang yang berilmu" (QS. Fathir: 28).

Namun, ketaatan dan ketakutan seseorang hamba kepada Allah bukan hanya akan terlihat dari bagaimana ia memelihara hubungan baik denganNya, tetapi juga bagaimana memelihara hubungan baik dengan sesama manusia. Santun dalam berbicara, bijak dalam membuat keputusan, dan adil dalam membuat penilaian, merupakan di antara wujudnya.

Namun terkadang manusia lupa terhadap ilmu yang telah disapih bertahun-tahun. Ilmu kadang dijadikan kotak pemisah dirinya dengan orang banyak, sehingga tidak memberi manfaat bagi perbaikan umat. Yang lebih parah, ilmu dijadikan lambang keangkuhan.

An-Nawawi rahimahullah mengingatkan bahwa sungguh tercela orang yang menuntut ilmu karena menginginkan dunia seperti harta, kepemimpinan, jabatan, kedudukan, popularitas, supaya orang lain cenderung kepadanya, untuk mengalahkan lawan debat dan tujuan semacamnya.

“Wahai anakku, kalau sewaktu kecil kamu rajin belajar, menuntut ilmu sebanyak-banyaknya, maka sewaktu dewasa kelak kamu akan memetik buahnya dan menikmatinya” (Luqman al-Hakim).

“Dan bertolong-tolonglah dalam melakukan kebaikan dan takwa, dan jangan bertolong-tolong dalam perkara mungkar” (QS. al Maidah: 2).

Pendirian sangat penting dimiliki, agar tak terombang-ambing dan terjerumus ke dalam perbuatan berdosa, Setiap hari, setiap hamba Allah disuguhkan dengan berbagai kabar dengan tujuan yang beragam. Ada yang bersifat membujuk, ada pula yang bersifat memberitakan yang sebenarnya, pun adapula yang berisi sindiran dan kata - kata halus lainnya. Seperti kampanye yang umumnya bersifat menggiring atau membujuk, untuk mengakui seseorang termasuk baik dan berkualitas sehingga layak dipilih sebagai pemimpin. 

Namun, sudah semestinya seberapapun banyak bujukan yang diterima, orang-orang beriman memiliki pendirian yang teguh, terhadap prinsip serta aqidah yang dimilikinya.

Dalam meneguhkan pendirian, orang-orang beriman antara lain bisa merujuk kepada firman Allah yang menyerukan agar senantiasa bekerjasama dalam meneguhkan keberlangsungan kebaikan, dan dilarang bekerjasama untuk membantu memperkuat kejahatan (QS. al Maidah: 2). Dalam memilih pemimpin, misalnya, merujuk kepada firman Allah yang melarang mengambil dari orang-orang zalim (QS. Hud: 113). Sangat terbuka kesempatan untuk berbuat dosa, seperti karena memilih orang-orang yang gemar melakukan kemaksiatan sekaligus menyalahkan amanah.

Memilih orang yang menggemari kejahatan dan tidak amanah akan mendapatkan dosa berlapis-lapis. Alasannya, pertama, telah mengabaikan larangan Allah untuk tidak mengambil orang zalim sebagai pemimpin. Kedua, telah menutup kemungkinan orang-orang baik menjadi pemimpin umat, sehingga kebenaran yang ingin diwujudkan menjadi kandas. Ketiga, telah ikut melanggengkan kejahatan, karena orang-orang zalim biasanya akan cenderung mendekati kezaliman. Keempat, telah memberi peluang untuk munculnya beragam kejahatan yang lebih besar, yang sulit untuk diperkirakan di awalnya. 

Ingatlah ....! bahwasanya ketika kita memilih pemimpin yang salah dan ternyata menyeru dan melaksanakan dan atau mengutamakan kezaliman serta tidak mengindahkan perintah dan larangan Allah Subhanahu Wata'ala maka masyarakat dan atau kaum itu sendirilah yang merasakannya. 

Sebaiknya dan seyogyanyalah kita berpikir berulang kali dan atau memohon petunjuk kepada-Nya dalam rangka untuk memilih pemimpin yang benar dan akan membela kebenaran, agar tidak menyesal dihari kemudian. Berpikirlah dan jadikanlah shalat sebagai penolong , janganlah karena suka dan atau kesamaan suku , ras dan golongan lantas kita menjadi buta dan tidak lagi menggunakan petunjuk-Nya dalam rangka menjalani kehidupan, termasuk dalam urusan memilih pemimpin yang benar dan akan membawa kepada kemakmuran.

Sahabat Abu Ubaidah bin Jarrah termasuk golongan yang awal awal masuk Islam. Ayahnya seorang tokoh Quraisy yang selalu melakukan pertentangan terhadap dakwah Nabi SAW. Meski begitu Abu Ubaidah bin Jarrah r.a tetap istiqomah dalam keimanannya. Untuk menyelamatkan keimanannya dia rela hijrah ke Habsyah pada gelombang kedua. Abu Ubaidah bin Jarrah r.a seorang mujahid yang gagah berani. Meski tubuhnya kurus tinggi tapi semangat juangnya tidak pernah mau kalah dengan Sahabat yang lain. Pada saat perang Badar di termasuk dalam barisan utama. Dengan segala perbekalan yang minim dan jumlah pasukan yang lebih sedikit tidak gentar melawan pasukan kafir Quraisy.

Demikian juga pada waktu perang Uhud, dia juga ikut bersama rombongan Nabi SAW berjuang di medan Uhud. Ketika pertempuran berlangsung dengan sengit dan posisi pasukan Islam terdesak Abu Ubaidah bin Jarrah r.a melihat Nabi SAW dalam kondisi terjepit. Saat itu banyak pasukan yang kocar kacir dan berhamburan tidak dalam formasi pasukan yang sigap, Abu Ubaidah bin Jarrah r.a maju dan mendekati Nabi SAW. Didapatinya pipi Nabi SAW terluka, yaitu terhujamnya dua rantai besi penutup kepala beliau SAW, segera ia berupaya mencabut rantai tersebut dari pipi Nabi SAW .

Abu Ubaidah mulai mencabut rantai tersebut dengan gigitan giginya. Rantai itupun akhirnya terlepas dari pipi Rasulullah SAW . Namun bersamaan dengan itu pula gigi seri Abu Ubaidah ikut terlepas dari tempatnya. Abu Ubaidah tidak jera. Diulanginya sekali lagi untuk mengigit rantai besi satunya yang masih menancap dipipi Rasulullah SAW hingga terlepas. Dan kali inipun harus juga diikuti dengan lepasnya gigi Abu Ubaidah sehingga dua gigi seri sahabat ini ompong karenanya. Sungguh, satu keberanian dan pengorbanan yang luar biasa.

Di medan Uhud ia berhasil mendapati ayahnya yang kafir sedang membunuh pasukan Islam. Segera ia mendekati ayahnya. Dibuangnya rasa kasihan terhadapnya. Pada hari itu keimanannya diuji untuk memilih Allah dan syariatnya atau memilih ayah yang selalu menentang Allah dan syariatnya. Abu Ubaidah memilih Allah dan syariatnya dan majulah terus ia merangsek ayahnya hingga terkulai.

Abu Ubaidah r.a seorang yang zuhud. Beliau cukup makan tepung yang kasar dan air minum secukupnya. Pada waktu Khalifah Umar bin Al Khattab r.a ia mendapat tugas sebagai Gubernur di Syiria. Sebagai Gubernur ia berhak mendapat uang gaji baitul mal dan fasilitas guna menunjang tugas tugasnya.

Tapi keadaanya sangat berbeda di kediamannya hanya terdapat pedang, perisai dan pelana tunggangannya. Tak ada simbol simbol kemewahan sebagi seorang Gubernur. Dia hidup nikmat dengan kemiskinannya dan dia merasa lebih tenang dengan hidup seperti itu. Umarpun lantas berkata,”Wahai sahabatku, mengapa engkau tidak mengambil sesuatu sebagaimana orang lain mengambilnya ?” Beliau menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, ini saja sudah cukup menyenangkan.”

Lelaki mulia ini wafat ketika terjadi wabah penyakit tho’un di Syria.

Keutamaan seorang Abu Ubaidan bin Jarrah r.a akan makin kita temui dari sebuah hadits Nabi SAW yang berbunyi “Sesungguhnya setiap ummat mempunyai orang kepercayaan, dan kepercayaan ummat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.”

Wallahu A'lam

“Ya Allah, perbaikilah bagiku agamaku sebagai benteng urusanku. Perbaikilah bagiku duniaku yang menjadi tempat kehidupanku. Perbaikilah bagiku akhiratku yang menjadi tempat kembaliku. Jadikanlah, ya Allah, kehidupan ini penambah kebaikan bagiku, dan jadikanlah kematianku sebagai kebebasanku dari segala kejelekan” (HR. Muslim).

Di atas adalah permohonan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam. Sungguh ini suatu permohonan yang amat penting dan layak dimohon oleh setiap insan yang masih hidup di dunia yang sebentar lagi akan ditinggalkan untuk selamanya. Lebih-lebih di zaman yang sudah diperintah hawa nafsu seperti sekarang ini. Banyak hal sudah diukur berdasarkan pemuasan nafsu belaka. Tidak sedikit orang yang hanya mau bergerak berbuat bila didorong materi untk pemuas nafsu dan atau keinginan dan berbuat karena didorong niat yang ikhlas sudah menjadi hal yang langka.

Kecenderungan untuk tergerak berbuat karena hawa nafsu bisa mengenai siapa saja, terutama mereka yang keyakinannya terhadap nilai-nilai agama dan aturan - aturan didalam kitab sucinya sudah luntur dalam dirinya. Berbeda-beda tingkat keparahannya, bahkan tidak sedikit yang sudah parah dan malah menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya. 

Karena itu, sepatutnya kita menyempatkan diri memohon perlindungan kepada Allah. Yaitu, memohon agar ajaran-ajaran agama bukan sekedar menjadi hafalan semata. Tetapi mampu menjadi benteng yang melindungi diri kita dari hal-hal yang menjerumuskan ke dalam kesesatan dan mengikuti hawa nafsu.

Bukan hanya itu, juga memohon agar hidup ini produktif dalam menghasilkan kebaikan walaupun kecil, bukan kerusakan. Apalagi sudah terbukti dalam sejarah panjang manusia di bumi ini, orang-orang yang produktif dalam menghasilkan kerusakan pasti berujung pada kecelakaan hidup sekaligus matinya. 

Semoga dengan permohonan ini dalam catatan kecil ini, setiap diri kita mampu memperbaiki ibadah masing-masing dan mengokohkan dan mengistiqomahkan amalan amalan kebajikan, yang juga penting adalah menjadikan permohonan atau doa sebagai rutinitas yang dicintai dan bukan sebagai rutinitas pelengkap dan penghapus kewajiban semata. 

Wallahu A'alm

Sebahagian kita merasa bahwa beribadah itu melelahkan, sehingga ada yang tak melakukannnya. Padahal kalau seluruh ibadah yang telah dilakukan, dikumpulkan, dan digunakan sebagai penebus bagi segala rahmat Allah yang dinikmati setiap saat, sungguh jauh dari kecukupannya. Apalagi sebahagian orang melaksanakan ibadah harian dan tahunannya dengan tidak ikhlas dan asal jadi. 

Lantas dengan apa manusia harus membayar rahmat yang telah dinikmati setiap saat...?

Sama sekali tak mungkin membayar segala pemberian Allah siang dan malam. Jumlahnya tak terhitung, mulai dari kesehatan mata dalam melihat, kesehatan telinga dalam mendengar, kesehatan hidung dalam mencium, kesehatan kulit untuk membalut daging, kesehatan kaki untuk berjalan, kesehatan paru-paru untuk bernafas, kesehatan otak untuk berpikir, dan lain-lain. Sepadankah harga shalat tersebut untuk ditukarkan dengan satu jam kenikmatan mata, misalnya? 

Pasti sama sekali tidak.

Karena itu, sewajarnya kita bersyukur sebanyak-banyaknya kepada Allah, mematuhi segala perintahNya dan menjauhi laranganNya. Allah telah memberi kasih sayangNya sebelum kita meminta, memberi karuniaNya meskipun bagi manusia ingkar, dan senantiasa membuka tanganNya untuk menerima taubat. 

Sungguh amat memalukan bila tidak bersyukur, tidak beribadah, dan tidak berbuat baik, sedangkan rahmat Allah dinikmati setiap saat. Bila tidak bersyukur, maka siapapun sebenarnya sudah masuk perangkap iblis, sebagaimana janjinya kepada Allah untuk memerangkapkan manusia agar tidak bersyukur dan tidak menuruti jalan Allah. 

“Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka (manusia) dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”’ (QS. Al A’raaf: 16-17).